Pangandaran memoles dirinya menuju modernitas
untuk kepentingan wisatawan. Jejak alam, kehidupan nelayan, menjadi
cerita menyedihkan.
Di tengah dingin pagi yang berkabut pada Jumat 28 Mei 2010 sekitar
pukul 07.40, sebuah pesawat kecil dengan kapasitas penumpang 12 orang
meninggalkan Jakarta. Satu setengah jam berikutnya mendarat di landasan
udara Nusawiru Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pangandaran
adalah sebuah pantai. Punya dua sisi pesisir, pantai barat untuk
melihat matahari terbenam dan pantai timur untuk melihat matahari
muncul. Jaraknya hanya sekian ratus meter, menggunakan sepeda cukup
butuh 10 menit untuk mencapai masing-masing sisi itu.
Sekitar 30 tahun lalu, Pangandaran adalah pantai yang cantik dan elok,
di sepanjang pesisir di tumbuhi rimbunan tanaman pandan, rumput dan
pohon. Hijau dan menyegarkan. Sehari setelah kedatangan itu, saya
bertemu dengan seorang pria yang menetap di Pangandaran awal tahun
1980-an. Dia mengingatkan bila jalur hijau yang ciamik atau green belt
itu sudah lenyap, bukan tergerus oleh waktu tapi termakan keserakahan
manusia sendiri.
Benar saja, kini Pangandaran sudah berubah tak seperti cerita
kebanyakan orang. Kecantikannya kini menjadi kenangan. Bibir pantai
dengan jalan beraspal berlobang hanya dibatasi serangkaian pohon
kelapa, lapak pedagang kaki lima dan tembok taman yang tingginya
sekitar 1,5 meter. Pesisir pantai tertutup pedagang kaki lima.
Sabtu 29 Mei 2010, ketika langit mulai gelap beberapa anak muda
mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi, suara kenalpot yang
besar meraung-meraung seperti ingin menandingi gemuruh ombak. Sementara
di sepanjang jalan di bagian lain sisinya warung-warung kecil
berdinding anyaman bambu juga ramai dengan kerlip lampu hias.
Lainnya, penjual jagung mengipas arang pembakarannya di atas trotoar
jalan dan di taman poros jalan utama. Suasana begitu ramai. Dan pada
kenyataannya, Pangandaran juga bergegas menuju modernitas mengubur masa
lalu dan meninggalkan fungsi alamiah alam. Awal tahun 2000 sebelum
bencana tsunami menerjang kawasan itu (tsunami terjadi pada tahun 2006,
red), dan menghilangkan nyawa puluhan orang, melenyapkan harta benda,
rimbunan flora pesisir yang berfungsi untuk menahan gelombang dan
penjaga abrasi telah dibuldoser oleh pemerintah setempat. Alasannya
untuk membuat pantai semakin cantik agar wisatawan tertarik datang.
INI Minggu pagi, pada 30 Mei 2010, seperti keramaian sebelumnya pesisir
timur Pangandaran dipenuhi para wisatawan. Mereka menunggu matahari
menampakkan dirinya lalu cahaya keemasan menerpa permukaan air.
Irianto, 23 tahun, di atas gundukan batu dan tempat duduk dari tembok
membersihkan jaringnya yang terpasang sejak sore sebelumnya.
Satu persatu daun, sampah plastik dari pembungkus shampo, makanan, dan
ranting kecil dilepaskannya. Setelah itu sampah itu dibiarkannya
menumpuk diatas tumpukan batu pemecah ombak yang panjangnya mencapai
dua kilometer. Tapi itu tentu pekerjaan sia-sia sebab bila ombak datang
menggulung dengan tinggi maka sisa-sisa sampah tadi akan kembali turun
ke laut.
Irianto baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Pagi itu dia menemukan
delapan ekor udang lobster kecil. Udang-udang itu ditumpukkannya diatas
tanah dan ditaburi pasir kering. “Kalau pakai pasir kering akan tahan
hidup sampai dua hari. Kalau pasir basah cepet lemes, hanya setengah
hari,” katanya.
Badan Irianto, terlihat kedinginan. Telapak kakinya terlihat berkerut
pucat. Dia adalah nelayan yang mencari udang lobster disekitar tanggul
batu. Dia memasang jaring pada sore hari dan mengambil pada pagi esok
harinya. Setiap kilogram udang akan dihargai Rp150 ribu. Untuk delapan
ekor udang pagi itu diperkirakannya akan mencapai Rp200 ribu.
Menurut dia, saat ini lobster akan banyak keluar bebatuan atau sarang
persembunyian, karena suhu yang dingin. Gelombang dan angin yang
kencang sepanjang musim angin timur merupakan iklim yang tak disenangi
oleh si lobster.
Tahun 2007, Irianto memulai karirinya sebagai nelayan lobster. Dia
bekerja sendiri. Modalnya sebuah ban dalam besar dan jaring ukuran 30
meter, dana awalnya Rp500 ribu. Dan setiap minggu jaring yang terbuat
dari tali tasi itu akan diganti, karena bocor dan sobek. Dia tak ingin
lagi melaut dengan kapal-kapal nelayan, menjelajahi lautan
berhari-hari. Dia tak ingin menjadi anak buah terus menerus, berbeda
dengan yang dilakukannya sekarang. Wahyu menjadi bos untuk dirinya
sendiri, capek dan kelelahan ditanggungnya sendiri. Ada hasil atau
tidak dia sendiri juga yang menikmati.
“Kalau ikut perahu orang, penghasilan dibagi. Kalau musim paceklik
begini (saat musim angin timur) maka bisa jadi tak ada hasil,” katanya.
Di sepanjang pesisir timur itu, ratusan perahu-perahu nelayan
tertambat, digoyang-goyang ombak. Mereka tak melaut, tak ada hasilnya
begitu kata beberapa nelayan yang saya temui.
Sementara tak jauh dari tempat perahu yang tertambat berdekatan dengan
cagar alam Pagandaran, puluhan bagan berdiri kokoh. Bagan seperti rumah
di atas air, terbuat dari bambu dan ditancapkan, pada bagian tengah di
tempatkan jaring untuk menunggu mahluk laut yang akan terperangkap.
Bagan-bagan itu saat sekarang sama dengan perahu nelayan, tak akan
berharap ada ikan yang tersangkut dalam jaring. Hidi, 38 tahun, seorang
dari pemilik bagan memandang dari tepi jalan ke arah bagan-bagan itu.
Dia belum memastikan akan turun melaut.
Saat ini, kondisi cuaca tak baik maka bagan kebanyakan tak akan
beroperasi. Beberapa tahun yang lalu, bila kondisi musim tak bersahabat
bagan-bagan itu tetap melakukan aktivitas. Hidi dan beberapa nelayan
lainnya akan menjaring udang-udang kecil yang dinamakan rebong.
Biasanya udang kecil itu akan dijadikan pakan ternak dan bahan
pembuatan terasi.
Tapi, kali ini semua berubah. Beberapa tahun lalu, jumlah udang rebong
itu masih bisa terjaring hingga 4 ton perhari. Tapi sekarang sekepal
saja sangat sulit. “Tak tahu apa sebabnya. Semua sudah tidak ada,”
katanya.
Sementara dia bercerita, hujan mengguyur cukup deras. Di bawah tenda
pos kecil yang dijejali bangku dan meja, juga beberapa boks gabus putih
percikan air begitu cepat menampar.
Gelombang menghantam batu-batu besar penahan gelombang itu. Hitam dan
tak berbusa. Setelah redah, permainan olah raga air, seperti banana
boat, jet ski, dan beberapa lainnya kembali beraktifitas. Perahu-perahu
menarik permainan itu dengan kencang. Penumpang dan wisatawan yang
mencoba wahana permainan itu berteriak histeris kegirangan. Ketika
mereka tercebur maka terdengarlah tawa.
Gelombang air bermain dibelakang perahu yang berkecepatan tinggi.
Sementara ikan, biota laut, apalagi karang tak akan mampu bertahan
dengan gangguan baling-baling perahu itu.
Pendiri Pusat Pendidikan Lingkungan Pesisir (PPLP) Adam Assegaf,
mengatakan saat ini kondisi Pangandaran sudah berubah dan kerusakan
lingkungan sudah tampak nyata, ekosistem bawah laut, abrasi, sudah
didepan mata. Diperkirakannya bila kondisi masyarakat seperti sekarang
dengan pemikiran yang statis bukan tidak mungkin 10 tahun kedepan
Pangandaran akan menjadi kenangan saja.
Adam sudah menetap di Pangandaran sejak tahun 1980. Dia memperhatikan
setiap perubahan yang terjadi. Menurut dia, kondisi yang mempengaruhi
perubahan lingkungan pesisir Pangandaran adalah masyarakat sendiri.
Keengganan untuk berubah dan mencintai lingkungan hampir tak ada.
Di contohkannya, pendirian Bagan yang terlampau dekat dengan cagar alam
sebenarnya akan berpengaruh besar. Karang-karang yang tumbuh dengan
baik disekitar tempat itu berangsur mati, karena ekosistemnya terjamah
dan dicampuri manusia. Biota laut yang terperangkap jaring nelayan tak
dilepaskan kembali ke laut bahkan dibiarkan begitu saja. “Makanya sejak
tahun 1990 saya tidak lagi menyelam di tempat itu, saya tak melihat
apa-apa lagi. Padahal masa-masa awal masih banyak penyu,” kata Adam.
Luas cagar alam mencapai 500 hektare dan menjadi paru paru Pangandaran.
Letaknya berada di atas bukit. Ketika tsunami melanda kawasan itu, maka
cagar alam menjadi kekuatan utama yang membendung laju air di daerah
sekitar. Beberapa aktivis lingkungan tak membayangkan bila cagar alam
itu tak bertahan, korban bencana tsunami akan tentu akan berlipat. “Nah
yang lucu kan, ketika sabuk hijau pantai digusur. Hanya untuk membentuk
pantai semakinlapang. Itu tentu tidak masuk akal,” lanjutnya.
Bagaimana dengan sisi barat Pangandaran. Tak ada tumpukan batu pemecah
gelombang, hanya hamparan pasir. Ombak yang tinggi. Di pesisir barat
itu anda tidak akan leluasa menikmati aktivitas berenang saat hari
libur tiba. Orang-orang akan bergerombol di atas pantai, sejak pukul
enam hingga menjelang matahari terbenam. Sangat padat.
Sementara lapak-lapak pedagang kaki lima memenuhi sepanjang garis
pantai. Ada yang menjual makanan. Pakaian, minuman dingin, atau kopi.
Tenda-tenda dengan penuh warna, biru, hijau dan orange, tiang-tiang
dari bambu. Semua bersatu dan menutup sisi pantai dari arah jalan.
Sisa-sisa sampah jualan berceceran disembarang tempat. Rencana
pemerintah untuk membuat pantai semakin lapang dan bisa dinikmati di
tepi jalan sirna sudah.
Seorang pengusaha ikan dan pemerhati lingkungan, Susi Pudjiastuti,
mengatakan kalau mau melihat Pangandaran lebih baik, maka lapak-lapak
pedagang kaki lima itu harus dipindahkan dari bibir pantai untuk
mengurangi sampah. “Makanya kita adakan bersih pantai, memungut semua
sampah,” katanya.
“Jadi sebenarnya aturan membabat tanaman pesisir itu sia-sia. Lebih
baik lapak dari tanaman, begitu kira-kira,” lanjut Dede Suparto
Prawira, aktivis PPLP lainnya.
Menurut Dede, jumlah tanaman yang dihilangkan mencapai ribuan, ada
pandan, rumput khas yang mampu menjaga laju abrasi, ketapang, hingga
tanaman lokal. Gundukan-gundukan pasir yang diciptakan alam diratakan.
Konsep menjadikan pantai terbuka, dikatakannya sebagai kekeliruan yang
sangat fatal. Malah menambah masalah. “Nah sekarang kalau bencana
datang, yang menahan gelombang air atau menahan laju abrasi itu lapak
kaki lima. Tidak kan,” lanjutnya. “Sepertinya pemerintah lebih hebat
dari Tuhan.”
Tak hanya itu pembangunan dan kebijakan pemerintah tentang tata ruang
kota tidak memberikan pandangan yang baik akan keberlangsungan
lingkungan. Persoalan sanitasi dan limbah hotel tak tertata dengan
baik. Aturan lahan terbuka hijau yang memadai. Dimana seharusnya untuk
membuat perumahan, maka konsep yang penting adalah 60 banding 40, yakni
60 persen bangunan dan 40 persen lahan terbuka hijau. Tapi kenyataannya
semua tak berlaku, halaman rumah dan sempadan jalan dipenuhi jalan
tembok. Tak ada lagi tanah.
Bahkan, di pesisir barat ada landasan pacu udara untuk pesawat
perintis. Menurut Deden seharusnya landasan tak di tempat itu, sebab
melanggar Harim Laut atau garis sempadan pantai. Seharusnya, lanjut
Deden sempadan itu diperuntukkan untuk habitat pesisir, bukan untuk
pesawat dan tujuan ekonomi wisata. “Lapangan terbang untuk memajukan
wisata jelas itu hal yang sangat baik, tapi posisinya juga harus
diperhatikan. Lapangan itu kan sejajar dengan garis pantai, kan tidak
tepat,” katanya.
WAKIL ketua Badan Penyelamat Wisata Tirta (Balawista) Wawan Hermawan
sedang melakukan tugasnya saiang itu. Dia hanya menggunakan sebuah
celana puntung dan berelanjang dada. Badannya cukup kekar. Dia berdiri
melihat pesisir pantai barat dari bangunan berlantai dua.
Setiap hari selama tujuh hari dalam seminggu dia menetap di pesisir
pantai. Tanggung jawabnya cukup besar, apapun yang terjadi di pantai
harus sepengatahuannya. Wawan cukup ramah, dia menerima permintaan
wawancara di ruang kerjanya yang sederhana. Tembok-tembok dindingnya
retak karena geataran gempa wakhir tahun 2009 yang terjadi di Tasik,
Jawa Barat, yang jaraknya ratusan kilometer.
Dia cukup bangga menjadi penjaga pantai. Dan dengan sedikit berbesar
hati dia menyatakan bila peralatan yang ada di Balawista Pangandaran
merupakan yang terbaik di seluruh Indonesia. Tim penyelamat pantai itu,
memiliki sekitar 30 orang personil. Mereka bertugas di beberapa objek
wisata yang ada di Pangandaran, dari Batu Hiu, Green Canyon, Batu
Paras, hingga pantai Pangandaran sendiri.
Di pesisir barat pantai Pangandaran terdapat empat buah pos penjagaan.
Sementara pantai timur tak dipantau secara rutin. Di barat
masing-masing pos berjarak sekitar 400 meter. Setiap pos dijaga lima
orang. Jadi total petugas yang bertugas di lapangan mencapai 27 orang.
Empat orang di kantor yang bertugas siaga melaporkan kondisi, baik
cuaca, atau hal lain.
Tim penyelamat pantai itu memiliki sebuah mobil ambulans, sebuah mobil
patroli, jet ski dua unit, dan kendaraan roda empat yang menyerupai
motor dinamakan ATV satu unit. Lainnya, motor trail satu unit, perahu
karet dua unit, rescue board atau papan penyelamat tujuh buah. Dan
peralatan standar lainnya seperti pelampung, sirene, dan lain-lain.
Bila waktu libur tiba, maka jumlah pengunjung bisa mencapai puluhan
ribu orang. Artinya, jumlah personil dan petugas yang menjaga tidak
seimbang. Bila pada hari sabtu dan minggu mencapai 10.000 orang maka
perbandingannya setiap petugas menjaga 330 orang pengunjung itu tak
terhitung daerah kunjungan wisata lainnya, hanya di pesisir barat
Pangandaran.
Tak mengehrankan data jumlah kecelakaan yang terjadi cukup tinggi. Pada
tahun 2007 jumlah angka kecelakaan mencapai 177 kasus, jumlah korban
meninggal 4 orang. Pada tahun 2008 meningkat menjadi 226 kasus,
semuanya diselamatkan. Sedangkan pada tahun 2009 yakni 183 kasus,
meninggal tiga orang. “kalau personil kami memang kurang. Seharusnya
dan idealnya stiap pos dijaga minimal tujuh petugas pantai,” katanya.
Balawista adalah lembaga penyelamat yang dibuat oleh pemerintah daerah.
Anggaran operasionalnya didanai oleh Anggaran Pendapatan belanja Daerah
(APBD). Untuk tahun 2010, anggaran yang disiapkan adalah Rp325 juta.
Anggaran itu termasuk operasional lapangan, konsumsi, hingga pembelian
perlengkapan. “Sangat kurang, jangankan bergerak sehari-hari
kadang-kadang harus tekor. Bahkan kendaraan patroli mogok ditengah
jalan karena kehabisan bensin,” lanjutnya.
*) Eko Rusdianto, Penulis adalah Blogger yang mempunyai alamat di http://ekorusdianto.blogspot.com
Sumber: http://www.mypangandaran.com/aneka/detail/9/sabuk-hijau-yang-terlupakan.html
Comments