Susi Pudjihastusi, Jual Cincin untuk Modal, Pinjam Bank Dianggap Gila


Susi Pudjihastusi, Jual Cincin untuk Modal, Pinjam Bank Dianggap Gila ANGIN laut bertiup kencang saat pesawat Cessna yang
membawa Jawa Pos (Grup Radar Tasikmalaya) mendekati Pantai Pangandaran,
Jawa Barat. Setelah berputar sekali di atas perairan biru, pesawat
berkapasitas 10 penumpang itu lantas menukik, kemudian mendarat di
bibir pantai yang indah.



Konstruksi landasan yang biasa dipakai
take-off dan landing itu terbuat dari campuran pasir-batu yang
dipadatkan. “Ini bandara private (milik pribadi). Panjangnya satu
kilometer,” ujar wanita paro baya yang menyambut Jawa Pos dengan ramah.



Namanya
Susi Pudjiastuti, presiden direktur PT ASI Pudjiastuti yang bergerak di
bidang perikanan dan PT ASI Pudjiastuti Aviation yang merupakan
operator penerbangan Susi Air. Rambutnya ikal kemerahan, suaranya
serak-serak, namun pembawaannya supel.Bukan hanya bahasa Inggris
fasih yang keluar dari mulutnya saat berbincang dengan para pilotnya
yang bule. Susi --panggilan akrabnya-- juga menggunakan bahasa Sunda
dan sesekali bahasa Jawa kepada pembantu-pembantunya.



“Saya suka
belajar bahasa apa aja. Yang penting bisa buat marah dan memerintah.
Sebab, dengan itu, saya bisa bekerja,” ujarnya lantas tertawa.

Saat
ini, wanita kelahiran Pangandaran, 15 Januari 1965, tersebut memiliki
50 unit pesawat berbagai jenis. Di antaranya, Grand Caravan 208B,
Piaggio Avanti II, Pilatus Porter, dan Diamond DA 42. Kebanyakan
pesawat itu dioperasikan di luar Jawa seperti Papua dan Kalimantan. “Ada
yang disewa. Namun, ada yang dioperasikan sendiri oleh Susi Air.
Biasanya dipakai di daerah-daerah perbatasan oleh pemda atau swasta,”
jelas wanita yang betis kanannya ditato gambar burung phoenix dengan
ekor menjuntai itu.



Susi tak mematok harga sewa pesawat secara
khusus. Sebab, hal itu bergantung pelayanan yang diminta pihak penyewa.
Biaya sewanya pun bermacam-macam, tapi rata-rata USD 400-USD 500 per
jam. “Kadang ada yang mau USD 600-USD 700 per jam. Perusahaan
minyak mau bayar USD 1.000 karena beda-beda level service yang
dituntut. Untuk keperluan terbang, semua peranti disediakan Susi Air.
Pesawat, pilot, maupun bahan bakar. Jadi, itu harga nett mereka tinggal
bayar,” tegasnya.



Bakat bisnis Susi terlihat sejak masih belia.
Pendirian dan kemauannya yang keras tergambar jelas saat usia Susi
menginjak 17 tahun. Dia memutuskan keluar dari sekolah ketika kelas II
SMA. Tak mau hidup dengan cara nebeng orang tua, dia mencoba hidup
mandiri. Tapi, kenyataan memang tak semudah yang dibayangkan.



“Cuma bawa ijazah SMP, kalau ngelamar kerja jadi apa saya. Saya nggak mau yang biasa-biasa saja,” ujarnya.Kerja
keras pun dilakoni saat itu. Mulai berjualan baju, bedcover, hingga
hasil-hasil bumi seperti cengkih. Setiap hari, Susi harus berkeliling
Kota Pangandaran menggunakan sepeda motor untuk memasarkan barang
dagangannya. Hingga, dia menyadari bahwa potensi Pangandaran adalah di
bidang perikanan. “Mulailah saya pengen jualan ikan karena setiap hari
lihat ratusan nelayan,” tuturnya.



Pada 1983, berbekal Rp 750 ribu
hasil menjual perhiasan berupa gelang, kalung, serta cincin miliknya,
Susi mengikuti jejak banyak wanita Pangandaran yang bekerja sebagai
bakul ikan. Tiap pagi pada jam-jam tertentu, dia nimbrung bareng yang
lain berkerumun di TPI (tempat pelelangan ikan). “Pada hari pertama,
saya hanya dapat 1 kilogram ikan, dibeli sebuah resto kecil kenalan
saya,” ungkapnya.



Tak cukup hanya di Pangandaran, Susi mulai
berpikir meluaskan pasarnya hingga ke kota-kota besar seperti Jakarta.
Dari sekadar menyewa, dia pun lantas membeli truk dengan sistem
pendingin es batu dan membawa ikan-ikan segarnya ke Jakarta. “Tiap
hari, pukul tiga sore, saya berangkat dari Pangandaran. Sampai di
Jakarta tengah malam, lalu balik lagi ke Pangandaran,” ucapnya
mengenang pekerjaan rutinnya yang berat pada masa lalu.



Meski sukses
dalam bisnis, Susi mengaku gagal dalam hal asmara. Wanita pengagum
tokoh Semar dalam dunia pewayangan itu menyatakan sudah tiga kali
menikah. Tapi, biduk yang dia arungi bersama tiga suaminya tak sebiru
dan seindah Pantai Pangandaran. Semua karam. Dari suaminya yang
terakhirlah, Christian von Strombeck, si Wonder Woman itu mendapat
inspirasi untuk mengembangkan bisnis penerbangan. “Dia seorang aviation
engineer,” lanjutnya.



Christian merupakan seorang ekspatriat yang
pernah bekerja di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara, sekarang PT
DI). Awal perkenalannya dengan lelaki asal Prancis itu terjadi karena
Christian sering bertandang ke Restoran Hilmans milik Susi di Pantai
Pangandaran. Berawal dari perkenalan singkat, Christian akhirnya
melamar Susi. “Restoran saya memang ramai. Sehari bisa 70-100 tamu,”
katanya. Dengan Christian, Susi mulai berangan-angan memiliki sebuah
pesawat dengan tujuan utama mengangkut hasil perikanan ke Jakarta.
Satu-satunya jalan, lanjut dia, adalah membangun landasan di desa-desa
nelayan. “Jadi, tangkap ikan hari ini, sorenya sudah bisa dibawa ke
Jakarta. Kan cuma sejam,” tegas ibu tiga anak dan satu cucu tersebut.



Berbeda
jika harus memakai jalur darat yang bisa memakan waktu hingga sembilan
jam. Sesampai di Jakarta, banyak ikan yang mati. Padahal, jika mati,
harga jualnya bisa anjlok separo. “Kami mulai masukin business plan
ke perbankan pada 2000, tapi nggak laku. Diketawain ma orang bank dan
dianggap gila. Mau beli pesawat USD 2 juta, bagaimana ikan sama udang
bisa bayar, katanya,” ujar Susi.



Baru pada 2004, Bank Mandiri
percaya dan memberi pinjaman USD 4,7 juta (sekitar Rp 47 miliar) untuk
membangun landasan serta membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan.
Namun, baru sebulan dipakai, terjadi bencana tsunami di Aceh. “Tanggal
27 kami berangkatkan satu pesawat untuk bantu. Itu jadi pesawat pertama
yang mendarat di Meulabouh. Tanggal 28 kami masuk satu lagi. Kami bawa
beras, mi instan, air, dan tenda-tenda,” ungkapnya.



Awalnya, Susi
berniat membantu distribusi bahan pokok secara gratis selama dua minggu
saja. Tapi, ketika hendak balik, banyak lembaga nonpemerintah yang
memintanya tetap berpartisipasi dalam recovery di Aceh. “Mereka mau
bayar sewa pesawat kami. Satu setengah tahun kami kerja di sana. Dari
situ, Susi Air bisa beli satu pesawat lagi,” jelasnya.



Perkembangan
bisnis sewa pesawat terus melangit. Utang dari Bank Mandiri sekitar Rp
47 miliar sekarang tinggal 20 persennya. “Setahun lagi selesai. Tinggal
tiga kali cicilan lagi. Dari BRI, sebagian baru mulai cicil. Kalau
ditotal, semua (pinjaman dari perbankan) lebih dari Rp 2 triliun.
Return of investment (balik modal) kalau di penerbangan bisa 10-15
tahun karena mahal,” katanya.



Susi tak hanya mengepakkan sayap di
bisnis pesawat dan menebar jaring di laut. Sekarang, dia merambah
bisnis perkebunan. Meski begitu, dia mengakui ada banyak rintangan yang
harus dilalui. “Perikanan kita sempat hampir rugi karena tsunami di
Pagandaran pada 2005. Kami sempat dua tahun nggak ada kerja perikanan,”
tuturnya.



Untuk penerbangan rute Jawa seperti Jakarta-Pangandaran,
Bandung-Pangandaran, dan Jakarta-Cilacap, Susi menyatakan masih merugi.
Sebab, terkadang hanya ada 3-4 penumpang. Dengan harga tiket rata-rata
Rp 500 ribu, pendapatan itu tidak cukup untuk membeli bahan bakar.
“Sebulan rute Jawa bisa rugi Rp 300 juta-Rp 400 juta. Tapi, kan
tertutupi dari yang luar Jawa. Lagian, itu juga berguna untuk angkut
perikanan kami,” ujarnya.



Susi memang harus mengutamakan para
pembeli ikannya karena mereka sangat sensitif terhadap kesegaran ikan.
Sekali angkut dalam satu pesawat, dia bisa memasukkan 1,1 ton ikan atau
lobster segar. Pembelinya dari Hongkong dan Jepang setiap hari menunggu
di Jakarta. “Bisnis ikan serta lobster tetap jalan dan bisnis
penerbangan akan terus kami kembangkan. Tahun depan kami harap sudah
bisa memiliki 60 pesawat,” katanya penuh optimisme.



Agus Wirawan - RadarTasikmalaya


Sumber: http://www.mypangandaran.com/aneka/detail/3/susi-pudjihastusi-jual-cincin-untuk-modal-pinjam-bank-dianggap-gila.html

Comments